TIFA CENDERAWASIH NEWS

DIPERCAYA DARI YANG TERPERCAYA

Pandangan LP3BH Terhadap Pentingnya Melakukan Langkah Klarifikasi Sejarah Papua Berdasarkan Amanat dan UU Tentang Otonomi Khusus Bagi Tanah Papua

admin |

 

TCN, Manokwari – Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, saya menyampaikan pandangan LP3BH terhadap pentingnya melakukan langkah klarifikasi sejarah Papua berdasarkan amanat Pasal 46 Undang Undang Republik Indonesia Nomor : 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Amanat Pasal 46, ada ayat (1) berbunyi : “dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua (baca : Tanah Papua) dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)”. Kemudian pada ayat (2), berbunyi : “Tugas KKR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a.melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); dan b. merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi. Kemudian di dalam ayat (3) dari Pasal 46 tersebut disebutkan : “susunan dan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan KKR tersebut diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur”.

Menurut pemahaman hukum saya sebagai seorang Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (human rights defender/HRD) bahwa keberadaan Pasal 46 tersebut merupakan perwujudan dari aspirasi luhur rakyat Papua yang termaksud di dalam konsideran huruf e dari Undang Undang Republik Indonesia Nomor : 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua tersebut.

Dengan berpijak pada situasi di Tanah Papua pada wilayah Provinsi Papua Pegunungan dan Provinsi Papua Tengah yang terus terjadi kekerasan bersenjata diantara para pihak seperti TNI/Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) atau Kelompok yang sering disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Istilah KKB seringkali dipergunakan sebagai sebuah pembenaran atas kegiatan operasi militer atau keamanan yang berdampak sangat signifikan terhadap keselamatan warga sipil di wilayah dimana seringkali terjadi “pertempuran” bersenjata antara TPN PB dengan aparat TNI/Polri.

Akibatnya korban banyak merupakan warga sipil Papua Asli. Ini juga sekaligus “menafikan” peluang terjadinya penyelidikan dugaan pelanggaran HAM karena adanya alasan aparat keamanan sedang menghadapi gangguan keamanan akibat ulah para pelaku kriminal bersenjata.

LP3BH Manokwari juga memandang bahwa akibat terjadinya integrasi politik tahun 1963 yang baru “ditentukan” melalui pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang masih diperdebatkan terkait proses dan hasilnya pada tanggal 14 Juli hingga 2 Agustus 1969 atau 69 tahun yang lalu, kini perlu didudukkan secara proporsional untuk dibicarakan secara terhormat dalam sebuah dialog damai antara rakyat Papua dengan Negara.

Karena jelas segenap kegiatan operasional militer (keamanan) yang diberlakukan di Tanah Papua, Senantiasa dilandasi oleh pandangan bahwa Papua adalah bagian integral dari NKRI yang mengakibatkan segenap langkah protes atau “gugatan” berbagai elemen Papua Asli selalu dipandang sebagai tindakan melawan negara dan berakibat pemberlakuan pasal Makar hingga terjadi kekerasan negara yang berdimensi pelanggaran HAM.

LP3BH Manokwari karena itu mendesak Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk segera mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Pembentukan KKR sesuai amanat Pasal 46 Undang Otsus Papua tersebut.

Sumber: Yan C. Warinusy.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini